Saturday, September 30, 2017

Kopi.

Not mine.


Ajaib: Saya rindu Bogor.

Setelah satu bulan saya tidak pulang ke Bogor awal semester ini, ternyata akhirnya saya rindu juga. Padahal semester-semester lalu tidak pernah jadi masalah. Tiba-tiba rindu menjejakkan kaki di stasiun yang ramainya serupa pasar di Minggu pagi. Mungkin karena semester pendek lalu saya sukses pulang-pergi Depok-Bogor, jadi rindu. 

Adalah sebuah cafe tengah kota, di pinggir Kebun Raya. Sebuah rak buku besar di dinding sebelah kiri, menyimpan berbagai koleksi buku yang bisa dibaca oleh pengunjungnya. Dua orang di samping saya sedang belajar bahasa Korea. Di belakang saya sedang bercengkrama, lama tidak berjumpa, sambil tertawa-tawa. Meja saya penuh kertas dan dua laptop terbuka menyala bersama dua gelas setengah kosong yang berkata-kata dan berkeringat.

Adalah sebuah cafe lain di sebelah Utara. Jarum pendek menunjuk angka tua. Hari itu sudah hampir larut tapi ada deadline yang harus diselesaikan. Di lantai bawah, sepasang kekasih berhadapan. Dua gelas kopi berdiam diri di mejanya, menonton asyik mereka bercerita. Di lantai atas, sekelompok wanita sedang menyiapkan hadiah ulang tahun salah satu temannya. Dekorasi merah muda dan kue telah disiapkan baik-baik. Di lain meja, seorang barista berbincang dengan kawannya mengenai bisnis kedai kopi. Saya duduk menghadap tangga, dengan laptop di meja, satu porsi kentang goreng, dan dua gelas minuman yang asik berbincang sendiri.

Malam ini cukup berbeda. Setelah rindu-rindu itu datang, ternyata Bogor benar-benar mempengaruhi saya. Saya tidak lama merasakan udara lembab Bogor yang menjadi penyebab penyakit-penyakit bronkitis itu. Tapi, saya sudah jatuh cinta. 

Malam ini, saya duduk di depan meja dengan laptop terbuka dan sekotak susu uht hampir habis. 
Satu kotak. 
Bukan dua.