Malam tadi ku dedikasikan untuk film-film buah karya kawan satu kelas dan satu angkatan yang tentunya terkategorikan amatiran namun cukup buat bangga. Selain karena fisik yang tengah terbatas, lagi dihapus dosanya, begitu kata seorang kawan, tapi juga hari-hari dimana jam tidur berkurang sudah lewat.
Bisa santai lagi, Nas.
Tapi kalau begini, terpaksa santai lebih tepatnya.
Sampailah peluncuran kali ini pada satu link hasil unggahan kawan.
"Gua geli, Nas, liat gua sendiri di film." ujarnya.
Hingga hampir penghujung film, muncul sebuah dialog yang cukup familiar, mungkin sangat familiar. Mengingatkanku akan punggung-punggung ayam yang mendefinisikan ayam secara keseluruhan.
Aku turun dari tempatku sejak 60 menit yang lalu dan setengah berlari mengambil buku hasil pinjaman dari kawan yang baru ingat belum sempat ku kembalikan.
Tiba-tiba sesuatu terasa sangat menusuk tenggorokan, muncul dari dalam, membuatku terbatuk-batuk, seraya memegangi buku tersebut, ku ambil gelas berisi air putih yang sudah ku siapkan sejak tadi. Lantas ku cari judul cerpen yang hingga saat ini masih terasa begitu nyata. Kemiripan akan kenyataan tersebut hanya menimbulkan ngeri. Kengerian bahwasannya hal itu terasa begitu benar dan dapat dijadikan alasan semesta sejenak diam.
Layaknya seorang perfeksionis yang nyatanya ingin segala-galanya terlihat sempurna, padahal keterbatasan adalah hal yang mustahil dimusnahkan dari kehidupan duniawi. Dan seorang pemimpi besar yang pada akhirnya hanya sanggup menggapai kuku jari kaki impiannya.
"Sahabat saya itu adalah orang paling berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian yang lain. Ia hanya mengetahui apa yang sanggup ia miliki...."
Lalu apa guna impian dan keinginan jika tidak dapat tergapai? Selain dilatih bersyukur oleh Yang Maha Kuasa?
"...Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki."
Bogor, 19-6-15, belum boleh puasa.
No comments:
Post a Comment