Saturday, March 17, 2018

The eyes.

Not mine.

Jam dinding menunjukkan angka satu, di sebuah kedai kopi 24 jam. Di luar gelap. Setelah menceritakan dan mendengar sepenggal kisah, dua manusia meneguk kopinya masing-masing. Malam masih panjang. Kini keheningan menjadi jarak antara mereka. Sang wanita menatap rambut teman bicaranya yang kini berantakan. Sang lelaki memutar sendok di dalam gelas miliknya sambil menatap ke tepian meja.

"Kenapa?" tanya sang wanita.
"Tidak apa-apa."

Sang lelaki melanjutkan ceritanya. Namun, sebenarnya hanya ada satu hal yang ia lakukan sedari tadi. Berusaha untuk tidak menatap mata lawan bicaranya. Sesekali cerita terpotong olehnya yang menelan ludah dalam-dalam. Masih tidak berani menatap sepasang mata yang kini ia tahu sedang menatap wajahnya. Ia takut.

Baginya, mata adalah jendela untuk melihat dunia. Namun, mata jugalah yang mempersilakan dunia melihat apa yang ada di dalam dirinya. Ia tidak mau. Ia tidak sedang baik-baik saja. Satu-satunya hal yang ia pikirkan hanya bagaimana cara agar wanita dihadapannya tidak tahu. Bahwa, di dalam dirinya tersimpan rahasia paling berharga, tentang sebuah titik persimpangan antara dua cerita, tentang mereka.

"By the way, tahu gak, sih? Lama-lama gigi kita kuning dan kantung mata kita punya kantung mata, kalau begini terus," sang wanita memotong cerita sang lelaki.

Sang lelaki tertawa menanggapi sosok dihadapannya. Namun, seketika ia berhenti. Ia telah melakukan kesalahan paling fatal seumur hidupnya.

"Matamu bagus."

...


17 Maret.
Malam minggu.

Monday, March 12, 2018

People.

Dicari hunting buddy karena temanku sedang abroad, yang satunya sibuk ujian :(

Sebuah pertanyaan,

"Bagaimana cara untuk merespon suatu kabar bahwa sosok yang dijadikan panutan olehmu, gagal melakukan apa yang dia contohkan kepadamu?"

Karena pada dasarnya, satu-satunya kerugian yang dapat saya alami hanya ketakukan untuk menjadi sama sepertinya, gagal sepertinya.
Tapi bagaimana hal itu menjadi sebuah 'hanya', ketika tidak ada yang dapat memberikan jaminan esokmu akan baik baik saja?

Kemudian ia menjawab,
"Berhentilah mengidolakan manusia."
"Lho, kenapa?"
"We all make mistakes. Jangan berharap apapun sempurna kalau tidak ingin kecewa."


Selamat hari Senin.

Sunday, March 4, 2018

No signal.


Bicara hati siapa yang tahu, biarkan saya mengasumsikan ada seseorang di sekitarmu yang tahu.
Apa yang akan ia lakukan? Memberitahumu? Bertanya padamu? Atau membantu meyakinkanmu, bahwa hal tersebut begitu benar untuk dilakukan?
Atau mungkin ia akan diam dalam 1000 kata yang ia ucapkan, hanya untuk melupakan hal yang sebenarnya tidak ingin ia ketahui.

Pernahkah kamu mengira? Mungkin ini perkara mengenai sinyal sinyal antara kita. Interaksi antarmanusia yang meletupkan sinyal-sinyal di udara. Mungkin sinyal-sinyal itu terlalu kalut dan menjadi buyar, sehingga sampai kepada orang yang salah.

Maka saya ingin bertanya padamu sebaliknya.
Kalau ternyata kamu yang memiliki sinyal-sinyal yang salah itu, apa yang akan kamu lakukan?
Menguburnya hidup hidup atau dibiarkannya merasuk mencabik-cabik hatimu sendiri?

Saya hanya tahu satu hal. Sinyal-sinyal itu terlahir untuk menjadi terlalu kuat untuk dilawan oleh tubuhmu sendiri. Kamu tidak akan sanggup. Seolah menguburnya memang berada pada deretan hal-hal yang mustahil kamu lakukan. Namun, semakin lama kamu menyimpannya, hatimu akan semakin rusak.

Maka, biarkan saya memberi saran. Jika kamu merasa lelah, kamu tetap bisa memilih untuk membiarkannya melakukan itu. Membiarkan dirimu ditelan kegundahan dan sakit teramat sakit. Tetapi kamu akan merasa puas. Kemudian menjadikannya sebagai sesuatu yang pantas untuk kamu dapatkan. Karena melakukan apa yang tidak seharusnya kamu lakukan;
memiliki apa yang seharusnya tidak kamu miliki.