Monday, September 6, 2021

Karena,

Digging my old folders and found my sg trip photos from years ago where everything seemed easy and uncomplicated. And also to find how bad my photo quality was back then, this is the only thing I could complain to my younger version.

Kita—yang suka menulis cerita di malam-malam yang kadang sepi, kadang juga ramai—tentu tahu bahwa tidak semua yang kita tulis adalah tentang kita sendiri, tidak semua yang aku tulis adalah kamu. Tidak semua tulisanmu adalah aku.

Aku tahu sekali.

Namun, kita juga tahu, kalau kata-kata tidak sembarang dibuat. Tiap pilihan diksi diracik dengan teka-teki yang kandungannya bisa berasal dari kisahku, kisahmu, orang lain, atau kisah kucing-kucing di rumah yang hobinya bunting melulu. Bisa juga kisah tentang cangkir yang bosan sehari-hari hanya dipajang dan menonton manusia lalu lalang.

Kalau bicara soal kisah yang dikandung di dalam kata-kata, aku juga jadi sadar. Bahwa menulis untuk beberapa orang, adalah sebuah tindakan reaktif akan sesuatu hal. Sebab akibat begitu singkatnya.

Aku mungkin menulis, karena kemarin dapat doorprize seperangkat handuk dari kantor. Ku ceritakan apa warnanya, jumlahnya, teksturnya. 

Atau, ku menulis karena si kucing yang hobinya bunting, kemarin melahirkan dua anak lagi, lucu lucu.

Aku juga mungkin menulis, karena kamu.

Tapi pertanyaannya, apakah kamu pernah menulis, karena aku?


Masih awal September.

Ternyata sudah Senin.

Wednesday, September 1, 2021

Oktober 2019.

Been digging my drafts, this one deserves to be posted.

Karena absennya saya dari menulis dua tahun lalu, saya ingin coba menulis beberapa peristiwa yang akan saya apresiasi terus menerus.

Alkisah sedang berada di study room yang dinamai lab laptop. Nada saya agak tinggi kepada dua teman saya. Tinggal menghitung hari menuju keberangkatan ke Bandung untuk mengikuti final sebuah kompetisi.

"Ya sudah, sekarang maunya gimana?" tanya salah satunya.

"Ya coba jalanin dulu satu course, gue gak mau dateng ke final lagi dengan bawa kesalahan yang sama. Ini sama aja kayak tahun lalu."

Kalau dipikir pikir memang saya sering ngotot dan keras kepala, but I've never been so proud of being stubborn that day and I couldn't imagine if my friend didn't agree. Thank you for believing me.

Beberapa hari selanjutnya, saya yang jarang minum kopi jadi memesan kopi tiap jam 12 siang untuk menjaga mood, kewarasan, dan melawan kantuk. Teman-teman saya sepertinya lebih parah.

Satu hari sebelum kompetisi. Di sebuah meeting room hotel tempat menginap para delegasi. Suasana benar-benar panas karena latihan belum maksimal. Saya sudah terlanjur bad mood karena tidak kunjung hafal script, fokus salah satu teman saya terbagi-bagi hingga menjadi grogi, dan teman yang lain tetap mencoba berkepala dingin meskipun saya tahu rasanya sudah tidak nyaman juga. Akhirnya teman saya yang kehilangan fokus memutuskan untuk kembali ke kamar lebih dulu untuk mempersiapkan diri, sementara saya dan teman saya yang lain gladi resik presentasi di depan dosen sambil menahan kantuk dan mood jelek karena lelah. Malam itu tidak berjalan lancar.

Esok paginya saya dan salah satu teman saya kembali berlatih karena jadwal presentasi setelah sholat jumat, sementara teman saya yang semalam kehilangan fokus harus berkompetisi pada cabang lain terlebih dahulu. Pagi itu cukup sibuk. Singkat cerita setelah beberapa drama yang terjadi dan mood jelek saya sejak semalam (di sini memang saya tokoh antagonisnya hahaha), kami berhasil melakukan presentasi final di depan juri. Kami pun pulang ke hotel untuk beristirahat dan mencari pengalihan.

Keesokan siangnya kami merayakan kegagalan maupun keberhasilan yang mungkin akan kami dapat dengan makan di salah satu resto di Bandung. Sorenya kami bergegas kembali ke hotel untuk berangkat bersama teman-teman lain menuju venue Malam Apresiasi.

Seingat saya, kami cabang kompetisi terakhir yang diumumkan. Sesi menunggu dan berdebar berlangsung cukup lama serta beratnya beban-beban yang kami bawa mengingat perebutan juara umum cukup sengit. Namun akhirnya pada malam itu juga semuanya terbayar begitu nama kelompok kami disebut (bahkan saya hanya mendengar awalannya saja dan baru menyadari kalau pelafalannya salah ketika menonton rekamannya di Youtube). Rasanya ingin memeluk semua orang yang ada di dekat saya saat itu sambil menangis. Masih ingat betul ketika akan berfoto bersama di atas panggung, saya menangis di belakang yang lain sambil memeluk dosen (yang bahkan bukan dosen pembimbing tim saya). Malam itu bahagia sekali.

Saya bukan penganut aturan 80/20. Saya yakin teman-teman dan saya sudah bekerja maksimal melebihi angka 20% itu dan mendapat hasil yang diinginkan, karena saya yakin usaha sebanding dengan hasil. Tentunya disertai dengan do'a dan kehendak Tuhan.


Terima kasih teman-teman untuk peluh peluhnya karena rasanya tidak pernah puas untuk mengenang dan membayar masa-masanya. Semoga bisa dijadikan pengingat suatu hari kalau kita pernah sekuat itu.

Yuk dimulai lagi.
-Nay