“Is this our song?” tanyamu. Aku tertawa.
“Hahaha, bisa jadi.”
Dasar bodoh. Kalau saja kau tahu betapa ingin ku nyanyikan lagu itu sekencang-kencangnya di depan wajah yang menatapku tanpa merasa bersalah. Seandainya kau tahu gambaran dirimu adalah sepotong kekesalan yang ku timang-timang setiap hari dan ku harap tumbuh menjadi hal-hal yang meneduhkan.
Hari sudah mulai gelap. Restoran itu—yang makanannya tidak ku suka, tapi kau suka—mulai ramai. Aku pun bercerita setengah bercanda. Aku bisa menjadi apa saja yang kau mau.
“Pemain bola? Bisa. Pembalap? Apalagi.” Kau tertawa. Jadi pembaca dongeng untuk mengisi waktu sebelum tidurmu, itu juga bisa.
Kau memainkan sendok di dalam mangkuk berisi sup sisa, dengan raut wajah berpikir dalam kepala yang tidak ada namaku di dalamnya.
“Penulis lagu, deh, boleh. Bikinin satu lagu, ya, yang bagus,” pintamu. Giliranku tertawa.
"As you wish."
Kini aku seorang penulis lagu yang bebas menaruh kesedihan di dalam melodi riang untuk menyembunyikan kemalangan dari khalayak. Aku sang penulis lagu. Untukmu.
Hanya untuk menyadari bahwa, laguku terlalu bermakna untukmu yang menimbulkan banyak tanya.
Laguku tidak cukup riang untukmu yang main-main semata.
No comments:
Post a Comment