Segelas cokelat panas dengan sedikit asap mengepul ku teguk,
lidah ku tebakar, biasa. Ku lirik jam yang kini berbisik malu-malu, mungkin ia
ingin katakan sesuatu, ini sudah terlalu larut.
Tak seharusnya aku menunggu selarut ini, memang tak
seharusnya, tapi apakah salah untuk menjadi lebih sabar dari biasanya? Menjadi
lebih baik dari biasanya? Mungkin itu maksudnya.
Ku telusuri layar telepon genggam dari sudut ke sudut, tak
ada apapun. Sudahlah, memang sudah seharusnya dibiarkan seperti itu. Sementara
emosi memuncak dan ku matikan benda itu, akan ku biarkan membusuk seperti apa
yang dimintanya.
Merasa benar untuk mencoba tersenyum, malah pikiranku kacau. Amarah tidak berguna, kau tahu? Dan aku lebih memilih untuk meneguk
seduhanku yang terakhir itu, sambil berharap ini tidak akan terulang lagi.
Ku tulis beberapa bait puisi dalam putihnya kertas dan
hitamnya tinta, berharap akulah orang yang menemukan kata-kata itu, ku harap
begitu. Ku pejamkan mata sekejap dan aku hampa, tapi dalam pikiranku, semuanya
berlarian tak karuan yang kemudian membentuk seonggok benang kusut yang semakin
lama semakin besar.
Kau tahu?
Ini yang terakhir dan akan segera berakhir. Tapi sebelum
semua itu terjadi, maafkan aku. Kemudian biarkan ku tersenyum untuk melambaikan
tangan. Malam ini berakhir, aku selesai.
No comments:
Post a Comment