Source: Google. Not mine.
Senang begitu masuk toko buku, karya Sapardi Djoko Damono itu bertengger di banyak rak buku. Tulisan hari ini bukan mengenai novel tersebut, bukan. Terlebih karena saya belum kunjung punya, dari masalah beli online ternyata salah kirim, terus kehabisan stock di penerbit, sampai ke toko buku malah beli buku lain, yah begitu. Jadi saya gak akan komentar apa-apa dulu sampe nanti saya lahap sampai habis.
Kurang lebih saya mengenal puisi "Hujan Bulan Juni" ketika saya masih berseragam putih-biru. Saat itu sedang pelajaran Bahasa Indonesia bersama salah satu guru yang saya kagumi.
"Kenapa harus Bulan Juni?" ujar beliau.
"Emang kenapa, Pak?"
"Karena Bulan Juni biasanya sedang musim kemarau, mana ada hujan turun musim kemarau, jarang."
Setelahnya, saya merasa sangat terkagum-kagum dengan puisi tersebut, betapa suatu hal sederhana bisa jadi sangat dalam maknanya, berasal dari keseharian yang janggal kemudian menjadi sangat berarti. Sejak hari itu, saya mencintai Hujan Bulan Juni.
Agak aneh, ya, untuk siswa SMP jaman sekarang. Saya juga heran. Tapi masa-masa SMP saya, merupakan pengalaman yang paling 'sastra'. Guru Bahasa Indonesia saya bisa dibilang orang sastra dan merupakan salah satu guru yang punya banyak fans di sekolah. Selain masih muda, beliau juga guru yang paling dekat dengan siswa. Tak jarang pelajaran Bahasa Indonesia menjadi sesi curhat mencurhat atau sekedar ngobrol-ngobrol santai sambil makan, ya, sambil makan.
Kalau sedang ke meja beliau di ruang guru, hampir tak pernah absen, si buku "Aku" karya Chairil Anwar yang ada di film AADC itu, bertengger di samping cangkir berisi minuman. Belum lagi koleksi buku-buku sastra lainnya yang kadang dibawa ke kelas.
Pelajaran Bahasa Indonesia ala beliau bisa dibilang jauh dari kata membosankan. Salah satu materi yang saya suka adalah menganalisis karya sastra, lagi dan lagi salah satunya adalah puisi. Hari itu belasan puisi ditampilkan dengan proyektor yang biasanya malah bikin ngantuk. Sampailah pada puisi "Padamu Jua" karya Amir Hamzah.
"Coba kalian baca, kira-kira tentang apa puisinya?" tanya beliau. Satu dua orang menjawab tentang rindu akan kekasih, tentang cinta, dan lain sebagainya.
"Jawabannya belum tepat. Coba perhatikan lagi di kalimat 'serupa dara di balik tirai'. Puisi itu biasanya menggunakan bahasa kiasan, artinya bukan sebenarnya. Kalau di situ ditulis dara, berarti yang dimaksud bukan dara....."
Lalu beliau panjang lebar menjelaskan sampai akhirnya berkesimpulan bahwa dara yang dimaksud adalah Tuhan.
Lagi-lagi saya terkagum-kagum terhadap sebuah karya sastra dengan diksi dan maknyanya yang luar biasa, bagi saya tentunya.
Kemudian, selain guru saya, saya juga memiliki sebuah tim musikalisasi puisi, kurang lebih begitu. Hampir tak pernah absen tim kelas saya tampil di acara-acara yang diadakan oleh sekolah. Terlebih, salah satu kawan saya adalah anak dari salah seorang penyair Indonesia. Sebagai motor tim kami, biasanya dia dan saya mengaransemen puisi yang telah dibuat atau dipilih kawan yang lain. Sampai mentok-mentoknya hilang inspirasi waktu cari nada, diksi, malas latihan, suara sumbang, senar putus, tamtam jebol, sudah kami rasakan semuanya. Lalu, pernah suatu kali, saya tahu harusnya hari itu kami mendapat materi musikalisasi puisi pada pelajaran Bahasa Indonesia, namun guru kami malah melewatkan materi tersebut. Tapi tak ada yang bertanya, saya pun diam-diam saja.
Sejak hari-hari itu, saya jadi cinta betulan. Sampai baru-baru ini, seorang kawan bertanya, "Nas, Sapardi Djoko Damono bikin novel?"
Saya kaget. Ternyata salah satu kawan saya yang punya toko buku online mem-posting buku tersebut dengan tambahan '10% off'. Tanpa ragu, saya pesan. Tapi pada akhirnya, setelah yang sampai malah sepilihan sajak--bukan novel, dan segala printilan yang tidak penting, saya pun belum juga lihat isinya. Kudu sabar, hehehehehehehe.
Sudah dulu panjang lebarnya.
Sudah masuk 10 hari terakhir.
Besok masih harus puasa, kan?
No comments:
Post a Comment