Jika kau diberi satu permintaan, apa yang ingin kau minta?
Hari itu hari Sabtu, hampir jam 12 malam. Di sebuah kedai yang masih ramai, suara air hujan menghantam atap bangunan terdengar seolah bersorak bersama suara manusia-manusia bersenda gurau setelah delapan bulan karantina. Satu satunya keheningan malam itu berada di meja nomor dua, di antara seorang laki-laki dan perempuan.
Hari itu sudah berulang sembilan kali. Percakapan yang sama, hati yang sama.
"Kenapa kita harus seperti ini, ya?" tanya sang wanita memecah keheningan.
Pertanyaan itu sudah ia lontarkan sembilan kali. Ia tak punya kontrol terhadap hidupnya sendiri. Wajahnya mengisyaratkan kelelahan yang ia tak tahu sebabnya.
Sang lelaki diam dan memejamkan mata. Ia tidak siap untuk melanjutkan hari. Ia tidak siap untuk apapun setelah ini. Lantas dengan keegoisannya ia menjadikan malam itu abadi.
Karena ia tahu, setelah malam ini, wanita itu akan pergi seperti sebelumnya. Satu-satunya hal yang ia takutkan, meninggalkan lubang besar dalam diri yang siap menarik kesadarannya kepada memori lampau dan kisah-kisah bilamana, berulang kali, tanpa permisi. Dan di sisa hidupnya, dia akan memutar skenario bilamana seperti kaset kusut. Sekusut hati dan pikirannya yang diacak-acak oleh realita.
Percakapan itu terus berlanjut. Sang lelaki tak berani melihat wajah lawan bicaranya. Ia adalah manusia paling jahat. Pertanyaan dan jawaban itu terus berulang, tidak ada yang berubah, pun kenyataan, hanya wajah-wajah yang semakin lelah. Ia tetap takut. Ia tidak siap.
"Lo akan pergi lagi?"
Sebuah pertanyaan retorik dilontarkan. Sang wanita tak menjawab, meninggalkan kekosongan pada diri sang lelaki. Hanya wajahnya semakin lelah dan ingin menangis, namun tak tahu apa yang ia tangisi.
Sudah sembilan kali, dan di setiap kalinya sang lelaki mencoba menerima bahwa wanita yang kini mematung di seberang meja, harus melanjutkan hidup tanpa dirinya. Sang lelaki lah satu-satunya yang akan tersiksa. Karena semesta selalu menuntunnya untuk kembali kepada sang wanita, tapi sebaliknya wanita itu ditakdirkan untuk tak akan pernah menyadarinya.
"Kita gimana?"
"Gue percaya lo bisa mendapatkan kebahagiaan lo, Ra," jawab sang wanita.
Sang lelaki memejamkan mata lagi untuk melihat ke dalam dirinya sendiri. Dihirupnya udara lembab malam itu, dalam-dalam, sebanyak banyaknya, dan mengisi pundi-pundi nafasnya. Egoisme perlahan melonggarkan cengkraman pada hatinya. Ia sudah tak mampu lagi.
Bersama cahaya lampu yang redup dan pagar hati yang kini rumpang. Diiringi suara hujan dan peraduan sendok garpu. Jam menunjukkan angka dua belas lewat satu.
Hari itu hari Minggu.
No comments:
Post a Comment